♥ Bismillaahir Rahmaanir Rahiim ♥
Seorang ibu berusia 59 tahun
bernama Hastuti di Jati Asih Bekasi saat itu sedang gamang. Ia tengah
berdiri di sebuah konter bank setelah menarik dana sebesar
1 juta rupiah dari Teller. Rasa sedih menghinggapinya lagi. Hampir saja
ia menangis meratapi jumlah saldo tabungannya yang kini tersisa 7 juta
sekian.
Bukan masalah duit yang tersisa yang sebenarnya yang
membuat ia hampir menangis. Namun, sungguh saldo itu semakin jauh saja
dari Biaya Setoran Haji yang berjumlah 28 juta.
Sudah
berkali-kali ia mencoba menyisihkan uang yang ia miliki untuk dapat
berhaji. Namun sudah berulang kali angka saldo itu tidak pernah lebih
dari Rp 8 juta. Setiap kali sampai angka tersebut, selalu ada saja
keperluan mendesak yang harus ia tutupi. Jadi, saldo di tabungan
bukannya makin bertambah, yang ada selalu kurang dan berkurang. Semalam
Hastuti tak kuasa menahan gundahnya. Ia laporkan kegalauannya kepada
Tuhan Yang Maha Mendengar dalam doa & munajat.
Seolah
mendapat ilham dari Allah, paginya ia menarik dana sebesar 1 juta. Kali
ini dana yang ia tarik bukan untuk keperluannya pribadi, namun uang
sejumlah itu akan ia infakkan kepada anak-anak yatim yang berada di
lingkungannya.
Sejak pagi, ibu Hastuti sudah keluar dari rumah.
Menjelang sore, baru ia kembali setelah mengambil uang di bank dan
kemudian membagikannya kepada anak-anak yatim di sekitar.
Ia
tiba di rumah pada pukul setengah empat sore. Ia langsung menuju kamar.
Usai ganti baju dan shalat Ashar, ia panggil pembantunya yang bernama
Ijah untuk membuatkan secangkir teh.
Ijah pun datang dan
membawakan teh untuk sang Majikan. Dalam rumah seluas 200 meter itu,
hanya mereka berdua yang mendiami. Ibu Hastuti adalah seorang perempuan
yang sudah belasan tahun menjanda. Ia memilik 3 orang putra dan 2 putri.
Kini semuanya telah berkeluarga dan meninggalkan rumah. Ibu Hastuti
tinggal sendiri bersama Ijah dalam masa tuanya. Hal ini mungkin adalah
sebuah potret lumrah masyarakat modern Indonesia zaman sekarang.
Saat Ijah datang membawa teh pesanan majikannya. Setelah meletakkan
cangkir teh di meja, Ijah mendekat ke arah majikannya untuk memyampaikan
sebuah berita.
"Bu..., tadi saat ibu pergi, den Bagus datang
kira-kira jam 9. Ia tadinya mencari ibu, tapi karena ibu gak ada di
rumah, ia nulis surat dan nitipkan sebuah amplop cokelat."
Ibu
Hastuti pun kemudian mengatakan, "Oalah... Kok nggak bilang-bilang kalau
mau datang. Aku khan juga kangen. Sudah lama gak ketemu. Ayo, mana Jah
suratnya. Mungkin dia juga kesel sudah datang jauh-jauh tapi gak ketemu
dengan bundanya."
Ijah pun masuk kembali untuk mengambil surat
den Bagus dan amplop yang dititipkan. Amplop cokelat itu seperti
berisikan sejumlah uang. Bentuknya pun tebal. Apalagi dalam amplop
tersebut bertuliskan logo sebuah bank. Namun hasrat untuk membuka amplop
itupun ditahan oleh Bu Hastuti. Tangannya kemudian bergerak ke selembar
kertas yang disebut sebagai surat oleh Ijah.
Bu Hastuti mulai
membacanya. Diawali dengan basmalah dan salam, surat itu dibuka. Tak
lupa ucapan dan doa kesehatan untuk bunda dari anak-anaknya.
Tak lebih dari 2 menit, surat itu telah selesai dibaca oleh ibu Hastuti.
Namun dalam masa yang singkat itu, air mata membanjiri kedua matanya,
mengalir deras menetesi pipi dan beberapa bulir terlihat jatuh di surat
yang ia pegang. Kemudian ia pun mengintip uang yang berada dalam amplop
cokelat itu. Kemudian ia berucap kata "Subhanallah!" berulang-ulang
seraya memanjatkan rasa syukur yang mendalam kepada Tuhan atas anugerah
yang tiada terkira.
Seusai mengontrol hatinya, ia segera
menelpon Bagus, anak pertamanya. Saat nada sambung terdengar, ia menarik
nafas yang dalam. Begitu tersambung, bu Hastuti langsung mengucapkan
salam dan mengatakan,
"Terima kasih ya Nduk... Subhanallah,
padahal baru semalam ibu berdoa mengadu kepada Allah kepingin berhaji,
tapi ibu malu mau cerita kepada kalian semua. Takut ngerepotin... Eh,
kok malah pagi-pagi kalian semua sudah nganterin duit sebanyak itu.
Makasih ya, Nak... Nanti ibu juga mau telponin adik-adikmu yang lain.
Semoga murah rezeki dan tambah berkah!"
Di seberang sana, Bagus putra pertamanya berkata,
"Sama-sama bu... Itu hanya kebetulan kok. Beberapa hari lalu, saya ajak
adik-adik untuk rembugan supaya dapat menghajikan ibu. Kebetulan kami
semua lagi diberi kelapangan, maka Alhamdulillah uang itu dapat
terkumpul. Mudah-mudahan ibu bisa berhaji selekas mungkin...."
Nada suara Bagus terdengar ceria oleh ibunya. Seceria hati Hastuti kini.
Sudah lama ia bersabar untuk dapat berhaji ke Baitullah.
Alhamdulillah setelah penantian sekian lama, Allah lapangkan jalan bu
Hastuti untuk datang ke rumah-Nya dengan begitu mudah. Dengan dana Rp 30
juta dari anak-anaknya, niat untuk berhaji pun ia wujudkan pada tahun
2004.
Walillahil Hamd!
Sungguh dalam setiap kesulitan ada kemudahan. Sungguh dalam setiap kesulitan, ada kemudahan! (QS: Al - Insyirah [94] : 5-6)
(♥ Subhanallah & Semoga Bermanfaat ♥)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar